The Chronicle of LQ Warrior

Saya engga akan memulai tulisan ini dengan kalimat yang seolah-olah saya lupa bahwa saya pernah punya blog pribadi ini, namun terlalu sibuk dengan kegiatan di real life membuat saya jadi sulit untuk menyempatkan menulis lagi.

Engga gitu.

Di tengah gempuran perkembangan digitalisasi yang semakin massive, menulis blog untuk berbagi cerita dan pengalaman pribadi menjadi seolah sangat basi. Jamannya sudah berganti. Hari ini, orang-orang lebih suka berbagi cerita kehidupan mereka melalui Virtual Blog dalam bentuk video dan audio, dibanding menulis di Blog konvensional semacam ini.

Tapi bagi saya, menguraikan cerita demi cerita lewat tulisan adalah cara yang lebih nyaman, selain karena lebih praktis, tapi juga saya engga merasa punya kepercayaan diri untuk memajang muka sendiri. Bahkan orang tua saya sendiri aja jarang banget memuji “gantengnya anak mamah…” tiap kali saya selesai dandan sehabis mandi.

Seringnya, beliau justru bilang “dandan apaan si kayak gitu mamah mah engga resep banget ngeliatnya.

Komentar itu, pada masanya, bisa saya mengerti. Pada saat saya masih hidup di jaman Jahiliyah dulu, saya yang masih suka main band, sempat ikut-ikutan trend jadi anak Brit-Pop, Ska, nge-Punk sampai Hip Metal. Dan saya sempat sangat menghidupi betul gaya hidupnya. Tiap sepulang sekolah, saya langsung pulang ke rumah hanya untuk berganti kostum, pake celana jeans yang sudah diwantek biar keliatan kumel, jaket jeans yang penuh dengan bordiran dan emblem band-band punk, serta rambut yang digimbal –versi miskin– pake lem kertas.

Bukti kalo saya pernah ngeband ala-ala.

Setelah itu saya keluar rumah dan langsung ikutan nongkrong di sebuah kios yang menjual berbagai macam merchandise ala anak punk. Pada jamannya, saya sempat ngerasa paling Rebel dan paling keren. Si paling anti kemapanan. Punk not dead!

Alhamdulillah, sekarang saya sudah tidak menekuni jalan hidup semacam itu lagi. Profesi saya saat ini menuntut saya agar senantiasa tampil rapi, meski pun dalam hati tetap berantakan. (caelah!)

Semenjak tahun 2019 yang lalu, saya secara resmi telah dilantik dan diambil sumpah sebagai Advokat. Sebuah pencapaian yang tidak pernah terbayangkan akan tercapai, sebelumnya. Siapa yang pernah menyangka kalo saya yang kuliahnya lama bahkan sampai telat lulus karena terlalu sering menghabiskan waktu buat begadang di warnet main game online malah jadi pengacara.

Yang di belakang itu bukan temen saya, anggap engga liat aja.

Setelah hampir 4 (empat) tahun menjalani profesi ini, saya bisa bilang bahwa yang bagian paling sulit bukanlah bagaimana seseorang bisa menjadi pengacara. Karena itu sih sepele aja, berbekal ijasah sarjana berlatar belakang hukum, ikut pendidikan, dan lulus ujian, selesai.

Bagian tersulit dari menjalani profesi ini adalah bagaimana cara kita bisa terus konsisten menjalani profesi ini sendiri. Karena sebagai advokat yang tergolong baru, saya dan kebanyakan advokat baru lainnya belum punya resource dan network yang bisa menunjang kelangsungan profesi. Kalau tidak ada perkara yang masuk, lalu bagaimana mau bertahan dan tetap konsisten menjalani profesi.

Kekhawatiran ini lah yang kemudian mendorong saya untuk memutuskan mencari pekerjaan dan bekerja untuk kantor orang. Saya bukan tidak pernah berusaha menjalani profesi ini dengan nama sendiri, tapi ya gitu, perkaranya ecek-ecek dan kurang menantang. Sementara saya merasa punya kewajiban untuk mengejar ketertinggalan saya yang semakin banyak tahu justru merasa malah semakin banyak engga tahunya.

Untuk bisa sampai tahap itu, saya harus ada di tempat yang tepat dan belajar dari orang yang tepat.

LQ Indonesia Law Firm Jakarta Pusat

Dan bagi saya, bergabung menjadi bagian dari LQ Indonesia Law Firm adalah keputusan terbaik yang pernah saya ambil, sampai sejauh ini.

LQ, saya menyebutnya, bukan kantor pertama saya. Sebelum tergabung dengan pasukan merah hitam yang tidak berdiri di kasir Indomaret ini, saya pernah tergabung ke beberapa kantor lainnya. Banyak pengalaman yang saya dapatkan dari masing-masing kantor. Baik dalam hal penanganan perkara sampai bagaimana sepatutnya menjadi seorang pengacara.

Sudah hampir 3 tahun, kalau saya tidak salah hitung, saya menjalani profesi ini di bawah panji kantor berlogo huruf Q ini, nama LQ adalah singkatan Legal Quotient, yang menurut penjelasan Ketua Pengurusnya, berarti kepandaian (dalam bidang) hukum. Saya amin-i soal itu, memang dalam beberapa perkara, pendekatan dan penanganan yang dipilih boleh jadi “agak lain” dan tidak dilakukan oleh kantor hukum lainnya, tapi pada akhirnya cara itu ampuh dan efektif untuk menyelesaikan masalah.

Saya masih ingat perkara pertama saya di kantor ini. Akhir Desember 2020 yang lalu, saya didapuk untuk mendampingi seorang kontraktor yang dituduh melakukan penipuan dan penggelapan pembangunan infrastruktur tambang nikel ri Petasia, Ganda-Ganda, Morowali. Tidak tanggung-tanggung, pelapor sekaligus lawannya adalah anak pemilik perusahaan kopi terbesar di Indonesia.

Di sela sidang Permohonan Peninjauan Kembali

Perkara ini menjadi test case saya di kantor baru ini, di samping perkara lain yang waktu itu adalah sebuah perusahaan karaoke besar di Indonesia bersengketa soal harga sewa dan inventarisnya dengan Sarinah. Di awal Februari 2021, saya juga bahkan ditunjuk langsung oleh Ketua Pengurus untuk mendampingi Direktur perusahaan importir Kembang Api untuk mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.

Pada akhirnya perkara tadi selesai, Ketua Pengurus pun kemudian menumbuhkan kepercayaan pada saya sebagai rekanan. Satu per satu perkara demi perkara dipercayakan ke saya, untuk ditangani. Hingga tulisan ini saya tuliskan, tidak kurang dari 28 perkara dalam rentang waktu 2 tahun 7 bulan yang saya tangani. Dari keseluruhan, saya telah menyelesaikan hampir 20 di antaranya. Selebihnya adalah perkara pasif yang masih berproses di tingkat Mahkamah Agung, mau pun di tingkat Penyidikan.

Pin Emas LQ

Pin emas ini, adalah bukti kinerja dan prestasi saya selama di LQ. Penghargaan ini diberikan kepada rekanan yang telah bergabung lebih dari satu tahun dan telah menyelesaikan minimal 5 (lima) perkara, saya mendapatkan pin ini di tahun kedua setelah saya bergabung. Beruntungnya, di tahun berikutnya sudah tidak ada lagi penghargaan serupa bagi rekanan lain.

LQ Indonesia Law Firm hari ini memang sedang tidak berada di kondisi yang baik-baik saja. Setidaknya semenjak Ketua Pengurus kami ditangkap dan ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada bulan Agustus 2022 yang lalu, perubahan demi perubahan mulai terjadi.

LQ memang besar, tapi dia terlalu cepat besar. Di tahun ketiga kantor ini berdiri, LQ punya tidak kurang dari 3 (tiga) kantor cabang. Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Surabaya. Meski pun begitu, urusan manajerial masih dipegang oleh kantor pusat di Karawaci. Hal ini yang kadang menimbulkan kendala tersendiri untuk beberapa hal.

Terlebih lagi di mata para klien dan calon klien, LQ sama artinya dengan Alvin Lim, Ketua Pengurus kami. Masih terlalu banyak yang mengkultuskan tokoh Alvin Lim. Siapa yang engga kenal beliau, keberanian dan suaranya yang selalu lantang membongkar borok oknum menjadi momok tersendiri bagi aparat penegak hukum lain, dan masyarakat sangat menyukai gaya beliau. Sehingga ketika Pak Alvin masuk rutan, otomatis LQ sudah tidak memilik daya tarik lagi.

Dan akhirnya hal yang paling dikhawatirkan itu pun terjadi. Per bulan Oktober 2022, LQ Indonesia Law Firm Jakarta Pusat tidak punya perkara baru, telepon hotline jarang bunyi, sehingga kami hanya fokus menjalani perkara existing. Manajemen pun bergerak cepat, per 28 Februari 2023, LQ Citra Jakarta Pusat secara resmi ditutup.

Lalu saya ke mana?

Secara administratif keanggotan saya dimerger ke kantor pusat di Karawaci Office Park. Tapi karena satu dan lain hal, saya baru satu kali aja datang ke kantor sana semenjak Februari 2023. Selebihnya, saya berangkat langsung dari rumah ke Polda, ke Bareskrim, mau pun ke Pengadilan. Yang penting perkara tetap berjalan, pikir saya.

Tapi lama kelamaan saya merasa sangat jenuh. Saya tidak bermaksud untuk melepaskan tanggung jawab yang telah diberikan kepada saya untuk menjalani perkara, tapi situasi dan kondisinya memang sulit diharapkan untuk bisa memberikan efek positif bagi saya.

Saya merasa dilepas dan ditinggal.

Perasan itu yang kemudian akhirnya mendorong saya untuk berpikir mencari tempat lain. Saya sudah tidak merasa tertantang, sementara saya masih perlu tantangan baru untuk dijadikan stimulan. Saya bisa bekerja secara mandiri, setidaknya itu yang saya akui, tapi bekerja di bawah orang lain membuat saya merasa punya tanggung jawab lebih untuk memberikan yang terbaik.

Should I give up now?